Sabtu, 24 Juli 2010

renungan KEPITING


Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak yang tahusifatkepiting. Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki. Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakankepiting sawah. Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat.Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, laludimasukkanke dalam baskom/wadah, tanpa diikat.


Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantapuntuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaanini,kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom,sekuattenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat. Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipunhasilburuannya selalu berusaha meloloskan diri.Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting.


Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar daribaskom,teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagitemannyaakan menariknya turun...dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar. Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua dan matilahsekawanan kepiting yang dengki itu. Begitu pula dalam kehidupan ini...tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu.


Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalamikesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraihdengan jalan yang nggak bener.
Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi,sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidaksegerakita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri. Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnisataupersaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih pentingdari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya.


Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalahdalamsuatu persaingan, namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.
Pertanda seseorang adalah 'kepiting':
1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi)yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalambertindak


2. Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan


3. Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahuikelemahandirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yangakankeluar dari baskom dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.


..Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari baskom,namun yah...dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya...


Coba renungkan berapa waktu yang Anda pakai untuk memikirkan cara-cara menjadi pemenang. Dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama. Dan gantilah waktu itu untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri Anda menjadi pribadi yang sehat dan sukses.

dari milis motivasi

Senin, 19 Juli 2010

“Kapan Batu-Batu ini akan Menjadi Madu ?!!”


“Kapan Batu-Batu ini akan Menjadi Madu ?!!”

Tersebutlah seorang guru yang tengah mengadakan perjalanan dengan murid-muridnya ke sebuah gunung. Ia memerintahkan para murid untuk membawa batu. Ukuran batu diserahkan pada kesanggupan masing-masing murid. Perintah yang sedikit membingungkan ini ditaati dengan beragam oleh mereka. Alhasil batu yang mereka bawapun jadi sama sekali berbeda.

Murid yang agak bodoh namun taat, menyusahkan diri dengan membawa batu yang cukup besar. Pokoknya : aku dengar- aku taat, begitu pikir mereka. Sedangkan mereka yang merasa diri lebih cerdas, memilih membawa batu kegenggaman tangan, lengkap dengan semboyan : tulus seperti merpati, cerdik seperti ular. Sisanya, kaum kritis dan pesimis, memasukkan kerikil kedalam kantung mereka. Yang penting khan batu ?

Setelah melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan, akhirnya merekapun tiba dipuncak gunung. Lalu segera setelah itu. “Bim Salabim ! Abrakadabra !!!”. Sang Guru pun mengubah batu-batu yang dibawa oleh murid-muridnya itu menjadi madu. Madu hutan yang begitu manis dan menyegarkan.

Beberapa hari kemudian, perjalanan yang sama pun berulang. Sang Guru menyuruh mereka mendaki gunung yang sama, kali ini Sang Guru akan menyusul kemudian.

Belajar dari sebuah pengalaman, sebagian besar para muridpun memutuskan untuk membawa batu sebesar-besarnya. Kali ini tidak ada yang membawa batu segenggaman, apalagi kerikil dalam kantung. Namun aneh, murid-murid yang bodoh, tidak membawa secuil pasirpun.

“Kok nggak bawa ?”, tanya murid yang lain pada mereka.

“Habis, nggak disuruh”, jawab kelompok yang bodoh.

“Awas ya, jangan minta !”, timpal yang lain dengan senyum sinis.

Merekapun tiba dipuncak gunung. Setelah tiba disana, beberapa jam kemudian, Guru merekapun tiba. Sang Gurupun menyuruh para murid beristirahat sejenak, untuk kemudian melanjutkan perjalanan turun gunung dan kembali kerumah masing-masing.

Maka batu-batu besar itu tetap tinggal sebagai batu besar. Tidak ada madu, batu tetap batu. Menyakitkan bahu, memegalkan pinggang, membuat lutut gemetar, bibir menggerutu, serta menguras keringat dan nafas.

Segala kesuksesan dan pencapaian, kerap kali membanggakan dan membuat manusia lupa diri, begitu juga dengan diri ku pribadi. Hingga suatu saat seorang tua bijaksana namun nyentrik dan kaya raya, membisikkan wejangan ini padaku.

“Made, Anda lihat semua ini ? Seluruh pabrik, deretan mobil jaguar, super market ternama, berhektar-hektar tanah dan properti mewah. Semua kekayaan ini adalah pemberian.. Kerja keras, kecerdasan, ide-ide brilian dan keseluruhan yang orang namakan sebagai sebuah kesuksesan, bukanlah faktor penentu semua itu. Semua ini adalah sebuah pemberian dari NYA“

Apa ???!! Pemberian ? Yang bener aja !!

Baru saja orang tua itu bicara soal bagaimana ia terpaksa harus menjadi tukang batu untuk memberikan sepiring nasi untuk istrinya. Lalu betapa susahnya menjajakan telur, hasil ayam-ayam piaraannya, dari pintu-kepintu kepada para ekspatriat di Kemang sana. Kemudian tentang beberapa pelajaran dan kerugian yang harus ia tanggung, sebelum akhirnya kembali bangkit dan mengerjakan segala sesuatu dengan lebih berilmu. Dan sekarang beliau menyimpulkan semua ini adalah sebuah pemberian ???!!

Sebuah bahan renungan yang pantas untuk dikontemplasikan. Memang seringkali tangga kedewasan yang lebih tinggi akan menertawakan kekerdilan yang kita lakukan ditangga-tangga terbawah.

Apakah penambahan harta akan membawa bertambahnya kebahagiaan ?

Apakah seluruh pengejaran akan kesuksesan akan membawa ketentraman lahir bathin ?

Apakah ketenaran akan membawa kedekatan dann keteduhan dalam rumah tangga ?

Apakah kesibukan dan kerja keras akan membawa kesehatan ?

Sejak saat itu paradigma kesuksesan, keterkenalan dan kekayaan yang ku miliki mengalami revolusi luar biasa. Titik-titik beratnyapun berpindah tempat sedemikian rupa. Sehingga ide dasar yang dikatakan oleh orang tua itupun terkuak semakin jelas untuk dipahami.


Bahwa memang benar segala rejeki, kemuliaan dan harta yang berkah adalah pemberian dari NYA. Manusia sama sekali tidak pantas membusungkan dada akan segala yang ia miliki karena itu semua diijinkan mendekat dan kita miliki. Bahkan jika saat ini masih ada pelukan sayang yang teduh dari suami, istri, anak, ibu dan ayah, yang dapat kita rasakan adalah juga merupakan sebuah pemberian dari NYA

Dengan begitu, hidup ini akan menjadi serangkaian perjalanan yang begitu mengasyikkan ditemani Sang Pencipta, bukan sebuah pendakian gunung yang traumatis dan menegangkan, dengan memikul batu besar yang begitu berat dipundak. (*)

dari milis motivasi

Kamis, 08 Juli 2010

The Power of "Ojo Dumeh"


Di antara filosofi hidup orang jawa yang paling terkenal mungkin adalah "ojo
dumeh". Bahkan filosofi ini sudah mulai digunakan oleh kalangan yang lebih
luas, tidak terbatas pada orang jawa saja. Ojo dumeh yang dalam bahasa
sekarang mungkin bisa diterjemahkan langsung sebagai "jangan
mentang-mentang" ini dianggap filosofi yang aplikatif sepanjang masa dan
sangat powerful.

Ajaran ojo dumeh menyarankan kepada kita agar jangan sampai kelebihan
ataupun kehebatan yang kita miliki justru menjadi bumerang, membunuh diri
sendiri. Kelebihan seseorang bisa dalam bentuk kekayaan, keahlian, jabatan,
ketampanan atau kecantikan, kepopuleran, ataupun keturunan.

Dalam hal kekayaan misalnya, jangan mentang-mentang kaya kemudian tidak
menghargai yang miskin, apalagi melecehkan ataupun menghina. Ojo dumeh!
Kekayaan yang kita miliki tidak bisa dijamin akan abadi. Bisa saja hari ini
kita kaya tetapi malam nanti kekayaan kita dirampok orang dan ludes semua
kekayaan kita. Kalau hal seperti itu terjadi, mau apa? Ini adalah refleksi
dari realita kehidupan di mana ada kaya ada miskin, ada yang pintar ada yang
bodoh, dan sebagainya. Yang kaya bisa saja menjadi miskin dan yang miskin
bisa saja menjadi kaya.

Untuk itulah maka kearifan jawa ini selalu mengingatkan kita untuk ojo
dumeh. Jangan mentang-mentang memiliki kelebihan kemudian menjadi sombong,
tidak terkendali, lupa diri, bahkan kemudian merendahkan orang lain.
Kearifan untuk ojo dumeh inilah yang mengantar banyak orang menjadi sukses.
Bahkan ojo dumeh dapat melipat gandakan kekuatan dan kelebihan kita sehingga
kita lebih powerful. Mengapa demikian?

Terdapat beberapa alasan mengapa ojo dumeh menjadikan kita lebih powerful.
Yang pertama, ojo dumeh selalu mengingatkan kita agar kita tidak tergelincir
kemudian jatuh dari posisi kita sekarang. Hal ini dikarenakan dengan selalu
ingat pada adanya posisi yang berada dibawah kita, memberikan sinyal bahwa
kalau tidak berhati-hati kita bisa terpeleset dan jatuh ke posisi tersebut.
Jadi ojo dumeh menciptakan kehati-hatian. Dengan kita berhati-hati, maka
pijakan kita menjadi lebih kuat. Kita tidak akan terpeleset, apa lagi jatuh.

Yang ke dua, ojo dumeh akan menyenangkan orang lain. Orang lain senang
karena kita tidak mentang-mentang, tidak merendahkan mereka. Saat kita
menyenangkan orang lain, orang-orang tersebut akan senang berada di sekitar
kita. Mereka tidak ingin kita jauh dari mereka. Apa lagi lepas dari mereka.
Artinya, mereka akan menjaga kita untuk stay in our position. Tetap di
posisi kita di sini bukan berarti kita tidak mereka inginkan untuk menapak
ke posisi yang lebih tinggi. Mereka justru berharap agar kita lebih membuat
mereka senang. Pada posisi yang seperti ini saja kita menyenangkan mereka,
sehingga pada saat kita berhasil berada di posisi yang lebih tinggi mereka
berharap bahwa kita akan lebih menyenangkan mereka.

Yang ke tiga, ojo dumeh menunjukkan bahwa kita adalah orang yang bersyukur.
Dengan tidak `mentang-mentang' berarti kita memberi pernyataan pada diri
sendiri bahwa posisi kita yang seperti ini cukup untuk kita dan wajib kita
syukuri. Kalau kita diberi lebih dari yang sekarang ini tentunya kita akan
lebih bersyukur lagi. Dengan demikian kita bisa menikmati apa yang sudah
kita miliki dan yang sedang kita alami.

Ke empat, ojo dumeh membuat kita hemat energi. Merendahkan orang lain,
mengumpat orang lain, dan berfikir negatif tentang orang lain hanya akan
menguras energi kita. Lebih baik kita menempatkan segala sesuatu pada
porsinya saja. Setiap orang mendapatkan rejekinya sendiri-sendiri. Ada yang
banyak, ada yang sedikit. Yang banyak bisa menjadi sedikit, dan yang sedikit
bisa menjadi banyak. Jadi, yang punya kelebihan bersyukur saja tanpa harus
mengecilkan orang lain. Berfikir positif seperti ini akan menghemat energi
kita. Apalagi orang yang merasa kita hargai tersebut juga kemudian
menghargai kita, hal tersebut justru akan me-recharge energi kita.

Ke lima, ojo dumeh merupakan pengendalian diri. Yang dimaksud pengendalian
diri disini adalah membawa diri kita kepada keadaan yang kita inginkan. Ojo
dumeh akan selalu mengingatkan kita bahwa ternyata disekitar kita banyak
sekali hal-hal yang berbeda dengan kita dimana perbedaan tersebut bukannya
sesuatu yang kita inginkan. Saat kita diberi kelebihan dalam hal kekayaan
misalnya, kita akan melihat bahwa di sekitar kita masih banyak orang yang
tidak seberuntung kita. Selama kita menyadari hal tersebut, dan kemudian
tidak mengecilkan orang-orang yang kurang beruntung, maka kita justru akan
diarahkan oleh keadaan untuk lebih baik dari keadaan kita sekarang dan
terhindar dari keadaan yang tidak kita inginkan. Kalau kita mengecilkan
orang lain, atau menghina, hal tersebut sama saja dengan kita menyamakan
posisi kita seperti posisi mereka. Sama halnya kalau kita marah pada orang
gila dan mengumpat orang gila, maka bukankah kita menjadi sama saja dengan
orang gila tersebut? Sudah tahu dia gila kok kita marah kepada mereka?
Demikian pula saat berhadapan dengan orang-orang yang tidak seberuntung
kita. Kalau kita merendahkan mereka juga sama saja kita down grade, sama
saja dengan mereka. Yang benar adalah saat kita lebih beruntung kita
membantu dan mengangkat orang yang kurang beruntung tersebut ke posisi yang
lebih baik. Kita boleh merendah, tetapi jangan merendahkan. Begitu kurang
lebih yang terkandung dalam ojo dumeh.

Yang ke enam, ojo dumeh menjadikan kita tidak "over valued" terhadap diri
sendiri. Kalau kita mentang-mentang, dan keadaan membiarkan kita terbuai
dengan ke"mentang-mentang"an kita, maka kita bisa lupa diri. Sebagai contoh,
mentang-mentang kita pandai kemudian kita membodohi orang lain. Orang lain
mungkin diam. Kita yang sedang membodohi rasanya tiba-tiba menjadi lebih
pandai, melayang tinggi lebih pandai lagi. Itu perasaan yang menipu. Kita
justru akan tertipu oleh "mentang-mentang" kita. Untuk itulah maka kalau
kita memegang kearifan "ojo dumeh" kepalsuan perasaan tersebut dapat kita
hindari. Hati-hati, kita bisa over valued terhadap diri sendiri, yang apa
bila kita tidak kuat bertahan, hal tersebut justru akan berbalik menjadi
menurunkan value kita.

Mari kita bawa kearifan "ojo dumeh" ini ke tempat kerja kita. Bayangkan kita
bekerja keras untuk menciptakan kinerja yang kita targetkan. Kemudian kita
bisa menapak satu posisi ke posisi berikutnya yang lebih tinggi, yang
akhirnya kita mencapai posisi puncak. Tetapi kita tetap rendah hati. Kita
tetap menghargai pendapat orang lain walau yang posisinya lebih rendah dari
kita. Kita tidak "mentang-mentang" mempunyai kekuasaan kemudian kita
sewenang-wenang dengan kekuasaan kita. Kita tidak mentang-mentang
berpenghasilan tinggi kemudian membelanjakan uang kita semau kita sampai
lupa berderma. Kita tetap mendengarkan teman kerja kita seperti apapun
posisi mereka. Kita tetap hemat dan semakin banyak berderma. Bagaimana
dengan profil seperti itu? Kita ingin orang tersebut lengser? Tentunya
tidak.

Untuk itulah maka kearifan "ojo dumeh" banyak dipelajari, dan diparaktekkan
orang di jaman modern seperti ini. Ojo dumeh mendorong kita untuk semakin
memanusiakan manusia (dalam istilah jawa disebut nguwongake). Ojo dumeh
tidak akan mengerdilkan diri sendiri, justru akan membuat kita menjadi besar
karena berjiwa besar. Ojo dumeh.


dari milis motivasi