Rabu, 22 Februari 2012

Berani Mencintai Seorang Asing


Setelah sekian lama di medan perang, seorang tentara Amerika yang masih muda akhirnya diijinkan untuk pulang. Saat tiba di San Francisco, dia menghubungi orang tuanya untuk mengabarkan bahwa dia telah sampai. Namun sebelum beranjak pulang, dia menyampaikan suatu permintaan. "Aku akan pulang, tapi aku punya sebuah permintaan. Aku akan mengajak seorang teman untuk pulang bersamaku," jelasnya. Dengan segera orang tuanya menyanggupi dan mengatakan mereka akan sangat senang bertemu dengan temannya itu. "Tapi ada yang harus kalian ketahui, dia terluka sangat parah saat berperang. Dia menginjak ranjau dan harus kehilangan sebelah lengan dan kakinya. Tidak ada tempat untuknya tinggal, aku mau dia tinggal tinggal dengan kita," tentara itu menambahkan. Mendengar itu, orang tuanya segera bersimpati, "Oh, kami turut bersedih mendengarnya, Nat. Mungkin kita bisa membantunya untuk menemukan tempat tinggal di sekitar sini." Namun anak itu berkeras, "Tidak, aku mau dia tinggal bersama kita." Sang ayah mengambil alih pembicaraan. "Nak, kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Seseorang dengan kekurangan yang demikian akan sangat merepotkan. Kita juga punya hidup sendiri yang harus diurus, dan kita tidak bisa begitu saja membiarkan hal seperti ini mengganggu kelangsungan hidup. Menurutku kamu pulang saja tanpa dia, dan lupakan keinginanmu itu. Dia akan menemukan jalannya sendiri untuk hidup." Setelah mendengar semua perkataan ayahnya, tentara ini hanya diam tak mampu berkata apa-apa lagi hingga ayahnya memutuskan pembicaraan. Semenjak itu orang tuanya tidak lagi mendengar kabar dari anaknya. Mengira si anak masih diliputi kejengkelan, orang tuanya memilih untuk membiarkan saja hingga dia sadar dan pulang ke rumah. Beberapa hari kemudian, mereka mendapat telepon dari kepolisian San Francisco. Anak mereka, si tentara itu, telah meninggal setelah loncat dari atap sebuah gedung. Kepolisian yakin itu adalah bunuh diri. Dalam kesedihan luar biasa orang tua tentara ini terbang ke San Francisco dan dibawa ke kota yang bersangkutan untuk mengenali jenazah anaknya. Kain penutup dibuka, mereka mengenali wajah putra mereka. Namun begitu kain tersingkap hingga perut, mereka tidak lagi sanggup untuk berkata-kata. Jenazah itu hanya memiliki satu lengan dan satu kaki. Teman yang dia sebut di telepon itu ternyata dirinya sendiri. Jika si anak mengaku bahwa dirinya kehilangan lengan dan tangan, kemungkinan besar orang tua ini masih menerimanya dengan tangan terbuka dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tapi dengan perumpamaan 'seorang teman', anak ini tahu bahwa sesungguhnya orang tuanya merasa kerepotan dengan kondisi cacat yang demikian. Hanya karena apapun kondisinya anak akan tetap menjadi anak, maka orang tua itu menerimanya. Namun bukan karena kasih yang tulus. Ketulusan dalam mengasihi masih menjadi tugas tersulit bagi manusia. Seringkali kita mau berkorban, mau menderita karena orang yang kita tolong itu adalah seseorang yang spesial untuk kita. Tanpa sadar kita sering mengasihi orang lain karena suatu alasan tertentu, diperintah oleh rasa takut, rasa kagum, rasa sungkan, bahkan karena tujuan tersembunyi untuk mendapatkan balasan yang lebih besar. Cintailah orang asing dengan tulus hati, tanpa ketakutan dan tanpa mengharapkan balasan, maka Anda akan mampu untuk benar-benar mengasihi orang-orang terdekat dengan lebih baik lagi. SUMBER:kapanlagi

Rabu, 15 Februari 2012


Setelah sekian lama di medan perang, seorang tentara Amerika yang masih muda akhirnya diijinkan untuk pulang. Saat tiba di San Francisco, dia menghubungi orang tuanya untuk mengabarkan bahwa dia telah sampai. Namun sebelum beranjak pulang, dia menyampaikan suatu permintaan. "Aku akan pulang, tapi aku punya sebuah permintaan. Aku akan mengajak seorang teman untuk pulang bersamaku," jelasnya. Dengan segera orang tuanya menyanggupi dan mengatakan mereka akan sangat senang bertemu dengan temannya itu. "Tapi ada yang harus kalian ketahui, dia terluka sangat parah saat berperang. Dia menginjak ranjau dan harus kehilangan sebelah lengan dan kakinya. Tidak ada tempat untuknya tinggal, aku mau dia tinggal tinggal dengan kita," tentara itu menambahkan. Mendengar itu, orang tuanya segera bersimpati, "Oh, kami turut bersedih mendengarnya, Nat. Mungkin kita bisa membantunya untuk menemukan tempat tinggal di sekitar sini." Namun anak itu berkeras, "Tidak, aku mau dia tinggal bersama kita." Sang ayah mengambil alih pembicaraan. "Nak, kamu tidak tahu apa yang kamu minta. Seseorang dengan kekurangan yang demikian akan sangat merepotkan. Kita juga punya hidup sendiri yang harus diurus, dan kita tidak bisa begitu saja membiarkan hal seperti ini mengganggu kelangsungan hidup. Menurutku kamu pulang saja tanpa dia, dan lupakan keinginanmu itu. Dia akan menemukan jalannya sendiri untuk hidup." Setelah mendengar semua perkataan ayahnya, tentara ini hanya diam tak mampu berkata apa-apa lagi hingga ayahnya memutuskan pembicaraan. Semenjak itu orang tuanya tidak lagi mendengar kabar dari anaknya. Mengira si anak masih diliputi kejengkelan, orang tuanya memilih untuk membiarkan saja hingga dia sadar dan pulang ke rumah. Beberapa hari kemudian, mereka mendapat telepon dari kepolisian San Francisco. Anak mereka, si tentara itu, telah meninggal setelah loncat dari atap sebuah gedung. Kepolisian yakin itu adalah bunuh diri. Dalam kesedihan luar biasa orang tua tentara ini terbang ke San Francisco dan dibawa ke kota yang bersangkutan untuk mengenali jenazah anaknya. Kain penutup dibuka, mereka mengenali wajah putra mereka. Namun begitu kain tersingkap hingga perut, mereka tidak lagi sanggup untuk berkata-kata. Jenazah itu hanya memiliki satu lengan dan satu kaki. Teman yang dia sebut di telepon itu ternyata dirinya sendiri. Jika si anak mengaku bahwa dirinya kehilangan lengan dan tangan, kemungkinan besar orang tua ini masih menerimanya dengan tangan terbuka dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tapi dengan perumpamaan 'seorang teman', anak ini tahu bahwa sesungguhnya orang tuanya merasa kerepotan dengan kondisi cacat yang demikian. Hanya karena apapun kondisinya anak akan tetap menjadi anak, maka orang tua itu menerimanya. Namun bukan karena kasih yang tulus. Ketulusan dalam mengasihi masih menjadi tugas tersulit bagi manusia. Seringkali kita mau berkorban, mau menderita karena orang yang kita tolong itu adalah seseorang yang spesial untuk kita. Tanpa sadar kita sering mengasihi orang lain karena suatu alasan tertentu, diperintah oleh rasa takut, rasa kagum, rasa sungkan, bahkan karena tujuan tersembunyi untuk mendapatkan balasan yang lebih besar. Cintailah orang asing dengan tulus hati, tanpa ketakutan dan tanpa mengharapkan balasan, maka Anda akan mampu untuk benar-benar mengasihi orang-orang terdekat dengan lebih baik lagi. SUMBER:kapanlagi

Sabtu, 11 Februari 2012

Pertolongan Dari Gubug Yang Terbakar


Pada suatu hari, terjadi sebuah kecelakaan kapal laut. Seorang pria yang jatuh dari kapal terombang-ambing di lautan luas. Setelah dua hari mempertaruhkan hidup dengan berenang dan mengikuti arus ombak, pria itu terdampar di sebuah pulau yang kecil dan tidak berpenghuni. Hanya ada tumbuh-tumbuhan lebat dan tanaman liar. Pria itu memutuskan untuk bertahan hidup di pulau tersebut hingga bantuan datang. AKhirnya dia mencari tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan. Setelah beberapa hari, pria itu berhasil membangun sebuah gubuk kecil dari kayu dan atap dari pelepah daun kelapa. Tempat yang sederhana itu bisa dipakai untuk tidur pada malam hari dan berteduh saat siang hari. Hari berganti hari, belum ada bantuan yang datang menghampiri pria tersebut. Lalu pada suatu hari, saat udara sangat panas, pria itu meninggalkan gubugnya untuk mencari buah kelapa dan meminum airnya untuk menghilangkan dahaga. Tetapi saat dia kembali ke gubug, betapa terkejut pria itu karena gubugnya sudah habis terbakar. Kayu yang sangat kering dan bergesekan membakar gubug dan beberapa pohon di sekitarnya. Sang pria mulai putus asa dengan hidupnya. Dia sudah hampir tewas saat musibah tenggelamnya kapal laut, dan saat dia bertahan di sebuah pulau, gubug yang susah payah dibangun justru terbakar habis. Dia mulai mengutuk hidupnya hingga beberapa saat kemudian sebuah kapal pencari ikan menepi di pulau itu. Sang pria tentu sangat bahagia, dia bisa menumpang dan kembali pada keluarganya. Dan tahukah, sang nahkoda kapal mengatakan bahwa dia datang ke pulau itu karena mengira bahwa asap dari gubug yang membumbung tinggi merupakan sinyal meminta pertolongan. Sang pria akhirnya meninggalkan pulau itu dan bersyukur bahwa gubugnya terbakar. Kerabat Imelda, seringkali kita menganggap beberapa musibah datang sebagai cobaan hidup. Padahal tak semua musibah menjadi sesuatu yang harus disesali dan ditangisi. Kadang Tuhan mengulurkan bantuan melalui hal-hal yang dianggap musibah, tetapi di sanalah sebuah pertolongan sering tersembunyi. SUMBER: kapanlagi

Rabu, 08 Februari 2012

Tiga Kalimat Terlarang


"Saya ingin selesaikan kuliah dalam 3 tahun." "Target penjualan tahun ini harus 20x lebih besar dari tahun sebelumnya." "Saya ingin menjadi penulis skenario Indonesia pertama yang dikenal dunia." Itulah sedikit contoh target dan impian yang sering kita canangkan untuk diri kita sendiri. Seringnya kita memulai perjuangan menuju mimpi besar itu dengan semangat '45, semangat yang berkobar-kobar. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya aral yang kita temui, kobaran itu perlahan meredup. Karena merasa lelah harus setiap saat menghadapi "batu penghadang", biasanya mulai muncul kalimat-kalimat pamungkas yang sebenarnya bersifat sangat terlarang. Inilah 3 kalimat terlarang yang harus kita singkirkan sejauh mungkin. 1. "Saya Tidak Bisa" Begitu kalimat ini sudah kita lontarkan, otomatis pintu pikiran kita akan tertutup untuk mencari jalan dan mencoba. Ucapan itu akan mengirimkan sinyal langsung ke dalam otak dan memblokir bagian kreatif otak kita. Akibatnya, kita cenderung menyerah begitu saja dan bersikap pasrah. Sebaliknya, apabila yang kita ucapkan pada diri sendiri adalah "Saya Bisa", otak kita akan bekerja secara otomatis untuk menemukan solusi atas masalah dan sebab kegagalan kita. 2. "Tidak Mungkin" Dengan mengambil sikap seperti itu dan selalu mengatakan "Tidak mungkin" pada setiap peluang karena sudah mengalami begitu banyak kekalahan, kita akan sulit meraih sesuatu yang hebat. Karena sebenarnya hampir segala sesuatu yang kita nikmati hari ini adalah sesuatu yang mustahil di hari kemarin. 3. "Saya Sudah Tahu" Salah satu kunci orang sukses adalah tidak pernah berhenti belajar. Kapan dan di mana pun kita harus mau belajar dari apa dan siapa pun. Jika kita mengucapkan "Saya Sudah Tahu", sebenarnya kita sedang menutup pintu pembelajaran. Kita tidak lagi berusaha untuk mempelajari hal-hal baru. "You Are What You Think You Are". Jika isi pikiran kita dipenuhi dengan ketiga kalimat di atas, sudah bisa dipastikan kita akan menjadi seperti yang kita pikirkan. Kita akan terus terpuruk di dalam kubangan kegagalan, tidak berani bangkit dan melangkah maju. Kita juga akan berjalan di tempat karena tidak ada sesuatu hal baru yang kita ketahui. Kita tidak bisa bergerak maju ke depan karena pengetahuan yang kita miliki yang kita pikir sudah cukup banyak itu tidak bisa membuat kita melangkahkan kaki ke depan. Mari, buang jauh-jauh 3 kalimat terlarang tadi dan segera penuhi pikiran kita dengan 3 kalimat yang merupakan kebalikannya. "Saya Bisa"; "Itu Sangat Mungkin"; dan "Saya Masih Perlu Belajar Lagi". SUMBER: Tim Andrie Wongso