Jumat, 30 Desember 2011

Cinta Lewat Sepotong Cokelat

Terbangun dengan kepala berat usai tangis semalam membuatku tak ingin melakukan apapun hari itu. Segera kupungut ponsel yang tampaknya jatuh dari tempat tidur. Kutekan tombol nomor yang kuhafal di luar kepala. "Aku sakit, dan aku tak bisa masuk," kataku kepada sahabat sekaligus atasanku. Dia pun berkata, "Ok, aku mengerti. You need two days off, darling," katanya memutuskan. Ah... leganya hatiku, setidaknya aku masih dapat melanjutkan tidur tak lelapku. Samar-samar kusadari, bahwa cermin yang kupukul hingga retak semalam masih jauh lebih beruntung ketimbang hatiku. Serpihan. Begitulah aku menerjemahkan perasaanku hari itu. Baiklah, aku tak bisa kembali tidur dan menghisap kembali kesedihan di atas tempat tidurku itu. Kurapikan dan mengganti sprei dengan harapan pedihku dapat kubuang. Agak konyol memang, tetapi entah mengapa perasaanku selalu lebih baik setelah merapikannya. Beberapa menit kemudian, kusadari diriku berada di bawah guyuran shower air dingin. Diam beberapa saat, kemudian menghela nafas panjang. Aku tak bisa seperti ini terus. Semua sudah usai dalam semalam, ya... semalam. Dan aku harus segera move on, melanjutkan hidup seperti nasehat orang-orang terhadap makhluk yang patah hati sepertiku. PING!!! Kuraih ponselku dan sebuah nama yang kukenal menyapa. Dia bertanya, mengapa tak melihatku pagi ini. Tanpa menutupi apapun kuceritakan kejadian semalam padanya. Aku sudah biasa menceritakan beberapa hal pribadi tentangku padanya, demikian pula ia. Katakan saja memang beberapa waktu ini ia menjadi salah satu sahabat yang mendukungku. He is cute anyway! Astaga, apa yang sedang kupikirkan. Mendadak pedihku hilang dan diganti perasaan hangat dan nyaman. Segera kuakhiri perbincangan dengannya, aku tahu aku sedang rapuh dan bisa jadi aku melampiaskan kekecewaanku padanya. Dan, aku tak mau itu... Sepotong cokelat... Diam-diam sudah sebulan aku menyandang status single. Ternyata tak jauh berbeda juga rasanya. Nyatanya aku terlalu berlebihan menilai perasaanku yang kupikir tinggal serpihan itu. I am more than OK! Sekotak cokelat disodorkan di mejaku. "Buatmu..." katanya. Ia kemudian duduk di atas mejaku dengan santai. "Hei, kamu nggak sopan!" hardikku. Ia pun tertawa renyah. Katanya ia suka saat melihatku marah, ia memang sangat suka menggodaku sampai aku berteriak atau mencubitnya. Dan begitulah, sebulan ini ia menemani hari-hariku. Sekedar berbincang tentang lagu atau isu di televisi. Namun, ada yang spesial. Cokelat! Hari itu ia sedang membuka luka lama demi menghiburku. Diceritakannya bagaimana ia patah hati dan terluka karena seseorang yang pernah dicintainya. Hingga saat ini sebenarnya ia tak berani mengaku kalau sudah move on. Nyatanya, ia tak juga menyandang status in relationship dengan seseorang. Sudah 2 tahun lebih katanya. Wah, aku termasuk beruntung. Saat putus tak pernah lama menjomblo dan menunggu. Aku selalu mendapatkan seseorang yang baru setelah aku kecewa. Sayangnya, hingga saat ini hatiku belum menetap pada seseorang. Rasanya seperti setelah terluka, diobati, terluka lagi, dilempar, diobati, dan seterusnya... Dalam perbincangan itu, ia bercerita banyak tentang cokelat, hmm... salah satu makanan kegemaranku. Kekasihnya yang dulu pandai membuat makanan, kalau tak salah mengingat, mantan kekasihnya memang sengaja mendalami bidang kuliner. Ia tahu benar bagaimana membuat praline cantik dengan isi yang unik. Yang membuat cokelat itu berbeda dengan cokelat lainnya. Bahkan, ia memadukan minuman beralkohol, yang aku tahu caranya tak semudah yang dibayangkan. Kami pun bercanda, bercerita, menikmati setiap potongan cokelat sembari menyisipkan cerita kebahagiaan dan pedihnya kami. Sejak hari itu, aku jadi lebih sering berbincang dengannya, eumm... kupikir lagi ternyata hampir 24 jam kami selalu berkomunikasi. Sejak hari itu pula, kedekatan kami tak hanya sekedar bercerita tentang kisah patah hati. Kami saling mengobati, merawat, memperhatikan, dan mencintai... Oya, hatiku saat ini telah berlabuh. Aku tak ingin berpindah ke lain hati lagi. Aku nyaman di sini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Karena ia telah membuatku tetap percaya, bahwa cinta itu ada, di dalam kekecewaan maupun kebahagiaan. Jangan takut untuk mencintai... SUMBER:Agatha Yunita

Minggu, 25 Desember 2011

Gadis dan Rumah Emas


Ada seorang gadis kecil tinggal di sebuah rumah kecil yang sangat sederhana, miskin yang berada di kaki bukit dan saat ia tumbuh besar ia pun bermain di kebun yang kecil dan saat itu ia melihat melewati pagar kebun nya dan melintasi lembah melihat pada rumah indah yang tinggi diatas bukit. Rumah ini memiliki jendela emas. Meskipun ia sangat sayang pada kedua orang tuanya akan tetapi dia sangat ingin tinggal di rumah emas yang berada di atas bukit tersebut. Ketika dia beranjak dewasa dan sudah memiliki akal dan keterampilan seperti layaknya anak remaja saat itu maka dia meminta ijin pada Ibunya untuk bersepeda keluar dari kebun tersebut. Setelah memohon berkali kali kepada ibunya akhirnya sang ibu pun luluh hatinya dan mengizinkan anak nya itu untuk bersepeda asalkan tidak terlalu jauh dari kebun nya dan tetap di perkarangan rumah nya. Akhirnya gadis itu pun pergi ke arah tempat di mana rumah berjendela emas tersebut. Setelah melewati lembah dan naik ke atas bukit, dia bertemu dengan seorang kakek tua yang menyadarkan nya. Kakek tersebut berkata ” Materi di atas dunia ini tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kasih sayang keluarga” Gadis itu pun langsung memutar arah dan berbalik menuju ke arah rumahnya, meninggalkan rumah emas yang dia sangat dambakannya. Saat menuruni bukit dia melihat dari kejauhan, ada rumah kecil yang atapnya, jendelanya, pintunya, semuanya terbuat dari emas, dan di perkarangan rumah tersebut ada dua orang yang terlihat sedang menunggu. Gadis itu pun kaget, ternyata dua orang tersebut adalah kedua orang tuanya yang khawatir akan keselematan anak gadisnya. Dan ternyata rumah yang dia tinggali adalah rumah yang kesemuanya terbuat dari emas. Kerabat Imelda...Materi bukanlah segalanya, kasih sayang adalah yang paling berharga dalam hidup kita. SUMBER:gemintang.com

Rabu, 21 Desember 2011

Nilai Sepuluh Bagi Tina

Tina, cewek berusia 17 tahun, Ia ramah, dan selalu menebar senyum ceriahnya. Tapi, Tina adalah seorang penderita “cerebral palsy”, sejenis kelainan tubuh, dimana beberapa bagian otot-otot tubuhnya kaku dan lumpuh. Karena kelainan ini pula, ia mengalami kesulitan untuk berbicara. Ia harus menggunakan alat bantu untuk menerobos hiruk-pikunya lorong sekolah. Orang-orang agak enggan berbicara dengannya, mengapa ? Entahlah, mungkin karena ia kelihatan ‘berbeda’ dan siswa-siswa tidak tahu atau canggung untuk mendekatinya. Tetapi Tina adalah orang yang ramah. Ia tidak pernah bosan berkata “Hai” dengan orang-orang yang ditemuinya di lorong. Tugas hari ini ialah menghafal puisi yang berjudul “Jangan Putus Asa”. Bobot nilai tugas ini hanya 10, berbeda dengan tugas-tugas lain seperti Quis- yang biasanya aku beri bobot 100 di kurikulum sekolah. Aku jadi ingat sewaktu sekolah dulu, jika ada guru yang memberi tugas dengan bobot nilai 10, pasti aku menganggapnya remeh ..yah karena itu tidak begitu penting, dan tidak berpengaruh banyak pada nilai indeks akhir semesterku. Hari ini aku – seorang guru di sekolah ini – melihat Tina di kelasku untuk mengikuti tugas yang aku berikan pada murid-muridku. Aku menemukan ada yang lain pada dia.. ya ! dibalik senyum cerahnya itu ia seperti menyimpan kekhawatiran.. “Tidak usah cemas Tina” Kataku pada diri sendiri, “Bobot nilainya cuma 10.” Aku mulai melaksanakan tugas yang aku berikan pada murid-muridku. Satu-per-satu mereka maju ke depan kelas – untuk mengucapkan puisi tanpa teks. Dan dapat kuduga, sebagian besar dari mereka ‘lupa’ atau hanya bisa menghapal sepotong dua potong kata dari puisi tersebut. Yah..mereka juga tahu bahwa bobot nilai tugas ini hanya sedikit, dan aku tahu, mereka tidak begitu serius mempelajarinya. Aku mulai bergurau pada mereka, “Jika ada yang masih tidak hapal, Bapak akan langsung suruh kalian push up 10 kali !”. Ya, ini hanya gurauan, dan seisi kelas pun tertawa karena ‘kekesalanku’ ini. Aku tidak sadar, ternyata yang mendapatkan giliran maju ke depan kelas berikutnya adalah Tina. Sepatah demi sepatah Tina mulai mengucapkan bait-bait puisi tersebut. Dan belum sampai akhir bait kedua… Ia mulai lupa. Sebelum aku mulai berkata, tiba-tiba Tina melempar alat bantu jalannya dan mulai mengambil posisi push up. Aku terkejut setengah mati, dan spontan berkata, “Tina, aku hanya bercanda !” Tina pun merangkak mengambil alat bantunya, kemudian – dengan bantuanku ia berdiri lagi, meneruskan puisinya. Dan, Tina berhasil mengucapkan puisi itu secara sempurna ! tidak lupa sama sekali. Dia adalah salah satu diantara 3 muridku yang bisa mengucapkan puisi itu secara sempurna. Ketika selesai berpuisi, salah satu murid bertanya padanya, “Tina,mengapa engkau bersikeras melakukannya ? Bukankah bobot nilainya cuma 10?” Tina memerlukan sedikit waktu sebelum menjawab, “Karena aku ingin seperti kalian, normal !” Keheningan mulai menyelimuti seluruh kelas. Semua tiba-tiba diam – termasuk aku. Kesunyian ini pecah saat ketika seorang siswa berkata, “Tina, sejujurnya kami juga tidak normal, kami hanya anak-anak biasa,sering sekali berbuat kesalahan.” “Aku tahu, ” Jawab Tina dengan senyum lebar menghias wajahnya. Tina memperoleh nilai maksimal saat itu, Sepuluh ! dari bobot nilai yang sebesar 10 juga. Ia juga mendapatkan rasa sayang dan hormat dari teman-teman sekelasnya. Aku tahu betul, baginya, itu jauh lebih berharga dibandingkan nilai yang cuma berbobot sepuluh itu. SUMBER:ceritainspirasi.net

Sabtu, 17 Desember 2011

Aku Tahu, Setidaknya Aku Pernah Mencoba...

Berapa kali Anda menyesal di dalam hidup? Satu kali? Dua kali? Atau bahkan ada yang menjawabnya sering? Lantas apa yang menyebabkan Anda seringkali menyesal? Ah, jawabannya pasti karena gagal atau tak sesuai dengan harapan Anda, bukan? Tetapi pikirkan kembali, lebih menyesal mana saat Anda mengalami kegagalan atau Anda tak pernah mencobanya? Kami berani bertaruh, penyesalan terdalam adalah saat Anda tak berani mencoba sesuatu... Aku adalah siswi SMU yang menurutku biasa-biasa saja, tetapi aku tahu benar bahwa sejak aku duduk di bangku SMU ini setiap hari selalu ada pria yang berusaha mengambil hatiku, menyatakan bahwa ia mencintaiku. Awalnya hal itu menyenangkan, sampai tiba di tahun ke-3 dan semua hal itu berubah menjadi hal yang menjengkelkan dan membosankan. Terlebih lagi ada seorang pria dari kelasku. Ia orang yang paling membosankan menurutku. Sejak tahun pertama, kami selalu sekelas. Ia memang murid terpandai, tetapi lihat saja penampilannya. Oh, sama sekali tak rapi. Setidaknya aku masih bisa menikmati perlakukan pria-pria lain yang manis dan selalu tampil keren. Tapi yang ini? He is like a disaster to me! Hingga suatu hari, menjelang perpisahan. Ia memberanikan diri naik ke panggung di malam pensi. Hah, apa pula ini? Bila pria lain yang melakukannya mungkin aku masih bisa tersenyum dan bangga, tetapi si kutu buku ini yang melakukannya. Oh tidak, tamatlah riwayatku! Kataku dalam hati. Namun, hari itu juga, hidupku berubah! Setelah dipermalukan di depan panggung dan ditertawakan seluruh isi sekolah, aku menariknya turun dan membawanya ke sebuah ruang kelas yang sepi. Aku memarahinya habis-habisan dan memprotes semua ulahnya. Rasanya semua emosiku selama tiga tahun tumpah saat itu juga. Aku tahu kata-kataku tak enak didengar olehnya, bahkan mungkin teman-teman tak menduga bahwa aku bisa menjadi sosok yang kasar dan kejam seperti itu. Ia hanya terdiam di depanku. Memandang dan mencermati setiap kata-kataku hingga akupun canggung sendiri. "Lihat apa kamu?" "Apa sih sebenarnya maumu? Mengapa kamu melakukan hal yang kamu sudah tahu bahwa kamu akan gagal?" tanyaku. "Aku tahu, aku mungkin tak pantas untukmu. Tetapi setidaknya aku berani mencoba..." katanya. Aku terdiam. Terdiam cukup lama untuk menelan dan memahami setiap kata-katanya. Sebenarnya memang ia yang paling konsisten untuk menunjukkan rasa sukanya padaku. Tiga tahun. Bukan waktu yang singkat untuk seseorang bertahan menyatakan perasaan pada orang yang disukainya. Kebanyakan pria yang menyatakan cintanya padaku telah menemukan kekasih setelah kutolak. Tak ada yang kekeuh mengejar sekian lama seperti si kutu buku ini. Kemudian aku tahu, bahwa ia akan lebih menyesal menyimpan perasaannya seorang diri dan tak melakukan apapun untuk menyatakan perasaannya padaku. Ia berpikir, lebih baik ia ditolak ketimbang harus diam saja. Dan, sebenarnya diam-diam aku cukup kagum terhadapnya. Ia sudah kutolak berkali-kali, namun ia tetap berusaha. "Kupikir ini adalah kesempatan terakhirku. Aku memberikan diriku sebuah tenggat waktu. Bila toh memang pada akhirnya kau tetap menolakku, aku tak akan menyesal karena aku telah mencobanya..." katanya lagi. Dan aku pun memeluknya. Memeluknya erat dan mengatakan "Yes, I do!" Memang tak semua usaha selalu diakhiri dengan hal yang manis dan membahagiakan. Seringkali bahkan diakhiri dengan kekecewaan dan kepedihan. Tetapi, apalah arti sebuah kecewa dibanding penyesalan seumur hidup, kawan? SUMBER: Agatha Yunita

Rabu, 14 Desember 2011

Iseng yang Positif


Banyak karya besar diawali dari pekerjaan iseng yang tidak begitu diharapkan hasilnya tetapi dilakukan dengan keterampilan sepenuhnya. Istilahnya, jika berhasil disyukuri, seandainya gagal pun tidak diratapi. Mark Zuckerberg, tidak menyangka Facebook akan seperti sekarang. Perbuatan isengnya memindahkan buku data mahasiswa Harvard University ke bentuk online interaktif membuahkan hasil yang luar biasa. Setelah beberapa lama ia kemudian mencium peluang bisnis di sana dan kemudian memfokuskan segenap kemampuannya untuk mengembangkan Facebook hingga menjadi satu fenomena internet seperti sekarang. Facebook pun jadi perusahaan yang menguntungkan dan menjadikan Mark Zuckerberg sebagai anak muda terkaya di dunia. Kerabat Imelda..Siapa pun pernah melakukan pekerjaan iseng, baik iseng yang positif maupun iseng yang negatif. Kita mencandai teman karena iseng. Namun kerap kali perbuatan itu menyebabkan kecelakaan atau pengaruh negatif yang tak terpikirkan. Ini tentu saja iseng negatif. Saya membuat perumpamaan lain yang tadi pagi dibahas di program talkshow rutin saya di Jaringan Radio Sonora dengan membawakan cerita klasik "Kaca Mata Guru", suatu cermin iseng negatif yang fatal. Sekelompok murid menyembunyikan kaca mata gurunya. Tak diduga, ketika pulang dengan mengendarai sepedanya, sang guru mendapat kecelakaan akibat penglihatannya yang kurang jelas karena tidak mengenakan kaca mata. Yang mengenaskan guru itu kemudian meninggal. Murid-murid hanya bisa menyesali perbuatan isengnya. Karena itu, mari hindari perbuatan iseng negatif, dan coba perbuatan iseng positif. Awali dengan melihat apa potensi yang kita miliki. Misalnya, ketika menyadari ada bakat akting, kita iseng-iseng ikutan audisi program televisi. Eh, ternyata diterima. Atau bisa juga, iseng-iseng jualan barang, lama-lama jadi keterusan dan setelah beberapa tahun kemudian sukses menjadi pedagang besar. Jika sudah menemukan iseng positif yang tampak akan membuahkan hasil, coba fokus, pelihara momentumnya, kembangkan, dan tekuni sebaik-baiknya. Setelah itu sukses besar siap menyambut. SUMBER:andriewongso.com

Senin, 05 Desember 2011

Masak Iya Cicak Lebih Pintar?


Cicak tidak bersekolah. Mereka juga tak pernah belajar ilmu bela diri, namun seringkali saat menghadapi bahaya mereka terbukti jauh lebih pandai daripada kita. Saat bahaya menghadang, seekor cicak akan melepas ekornya untuk mengecoh pihak pemangsa. Mungkin banyak dari kita yang sudah mengetahui kenyataan ini. Namun, seringkali kita tak melakukan tindakan yang cerdik saat diintai bahaya. Apakah bahaya itu? Mungkin bukan predator seperti yang ditakuti oleh si cicak, namun bahaya itu bisa saja berupa kebakaran rumah, status sebagai selingkuhan, pacar yang tak lagi menunjukkan cintanya, dan lain sebagainya. Saat rumah dilanda api, banyak orang lebih menyayangkan 'ekor'nya daripada melepasnya. Ekor itu bisa berarti uang, TV, kalung emas, HP, panci baru beli, hingga surat-surat berharga. Bukannya tak penting, saya percaya itu semua berharga. Namun saat keadaan sedemikian genting, manakah yang lebih penting, nyawa atau harta? Lain lagi dengan status sebagai selingkuhan. Sudah ketahuan pihak istri, masih saja enggan putus dengan kekasih terlarang. Apa bukan nekat dan cari perkara itu namanya. Belum lagi dengan pacar yang sudah nyata-nyata tak memperlihatkan sikap sayang, apakah masih ingin bertahan hanya karena "aku masih sayang dia"? Capek deh! Kan masih banyak pria lain yang mau perhatian dan sayang, ngapain bertahan dengan yang jelas-jelas sudah ogah. Belajar dari beberapa contoh di atas, kita semua diajak untuk peka saat 'bahaya mengancam'. Haruskah kita melepas atau mempertahankan? Jika melepas adalah hal terbaik yang memang harus dilakukan maka lepaskan saja. Setuju? SUMBER: Mega Aprilianti - KapanLagi.com