Selasa, 12 November 2013

Bagaimana Caranya Mengecilkan Pajak Penghasilan Pegawai (PPh 21) bagi yang galo.. wajib baca

Mereka yang sudah cukup lama jadi pegawai akuntansi atau konsultan—entah itu konsultan pajak atau konsultan keuangan korporat—pasti pernah diminta untuk mengecilkan Pajak Penghasilan Pegawai (PPh 21). Saya pribadi pernah mengalaminya beberapa kali—klien bertanya: “Apakah PPh 21 bisa dikecilkan?” atau “Bagaimana caranya mengecilkan pajak penghasilan pegawai?
Sebagai orang akuntansi yang menjunjung tinggi akuntanbilitas dan mengerti hukum pajak, sudah pasti merasa tidak nyaman ketika atasan (atau klien) meminta kita mengecilkan pajak, apapun jenisnya, termasuk pajak yang oleh orang awam disebut sebagai “pajak gaji pegawai” ini.
Masalahnya, boss/klien memiliki posisi tawar lebih dibandingkan kita. Kasarannya, tingkat kebutuhan kita terhadap mereka lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan mereka terhadap kita. Sehingga, permintaan semacam ini membuat kita berada dalam posisi serba salah. Dengan kata lain “maju kena, mundur kena”.
Di satu sisi, kita tahu persis itu tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Pajak, disisi lainnya kita tidak ingin mengecewakan boss atau klien. Tentu. Bisa saja kita menolak dengan mengatakan bahwa itu tidak dibolehkan. Tapi, coba simak respon di bawah ini (saya cuplik dari percakapan dengan klien beberapa bulan yang lalu).
Saya tahu itu tidak boleh. Masalahnya saya tidak tega melihat pegawai yang gajinya tidak seberapa masih harus dipotongi pajak.”
See? Mereka (pengusaha) tahu kalau mengecilkan pajak gaji karyawan itu tindakan ilegal, tetapi mereka punya alasan yang saya pikir termasuk niat baik (meringankan beban pegawainya). Meskipun demikian, saya melihat alasan yang dikemukakan belum tepat, itu sebabnya saya katakan:
Kalau memang kasihan sama pegawai, mestinya anda bisa naikan gajinya atau tanggung pajaknya. Bukan dengan mengecilkan pajak gaji”.
Saya sarankan begitu, klien jadi berang. Dia mengatakan:
Lho, harapan saya bukan cuma naikan gaji pegawai atau nanggung pajak mereka. Kalau bisa, saya ingin menanggung pajak seluruh rakyat Indonesia. Tapi bisnis kan tidak bisa begitu. Bisa saja saya naikan gaji mereka, tapi mungkin perusahaan tutup sebulan setelahnya. Saya rasa itu bukan cara yang baik.”
Apa yang dikatakan oleh klien saya itu, ada benarnya. Pada titik tertentu, perusahaan memang tidak akan sanggup lagi untuk berbuat lebih—terbentur oleh keterbatasan sumber daya, terutama finansial. Argumen itu menjadi semakin menguat, ketika klien mengatakan:
Perusahaan mertua saya sudah jalan berpuluh-puluh tahun. Mereka bisa mengecilkan pajak pegawai, entah bagaimana cara konsultan pajaknya. Yang jelas tak pernah ada masalah.”
Saya percaya, apa yang dikatakan oleh klien saya itu memang benar: ADA konsultan pajak yang dengan mudah menuruti permintaan klien seperti itu. Dalam persaingan jasa konsultasi pajak yang kian-hari-kian tidak kondusif seperti sekarang, tidak mustahil kalau ada konsultan pajak yang bahkan tidak sekedar menuruti, TETAPI MENGANJURKAN—sebagai bagian dari promosi. Saya kenal beberapa dari mereka yang melakukan praktek seperti itu.
Apakah, secara teknis, mengecilkan PPh 21 bisa dilakukan?
Yuk kita pindah ke paragraph selanjutnya.

Bagimana Caranya Mengecilkan Pajak Gaji Karyawan (PPh 21)

Saya bukan konsultan pajak. Tetapi, saya tahu, jawabannya adalah: IYA, secara teknis bisa dilakukan.
Bagimana caranya?
Note: Sebelum saya bahas lebih jauh, saya merasa perlu memperingatkan agar anda membaca tulisan saya ini hingga tuntas, paragraph-demi-paraph. Jangan sepotong-supotong, supaya memperoleh pemahaman yang utuh.
Kembali ke persoalan utama. Besar-kecilnya pajak, apapun jenisnya, ditentukan oleh 2 variable: (1) Tarif; dan (2) Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Demikian halnya dengan PPh 21.
Tarif pajak sudah pasti tidak bisa diubah-ubah, bisa dibilang ini konstanta. Sehingga yang bisa diubah hanya dasar pengenaan pajaknya—dalam hal ini adalah pendapatan pegawainya, entah itu berupa gaji, upah, bonus, insentif, gratifikasi, atau apapun itu yang menjadi pendapatan bagi pegawai (pegawai perusahaan dalam hal ini).
Usaha mengecilkan PPh 21 bisa dilakukan dengan cara mengecilkan pendapatan pegawai. Kasarannya, gaji pegawai dibuat ‘seolah-olah’ lebih kecil dari yang sebenarnya.
Tentu saja tidak dilakukan dengan cara main ganti angka begitu saja, melainkan dengan menjalakan serangkian langkah-langkah tertentu—sebut saja prosedur—yang membuat tindakan mengecilkan PPh 21 tidak ketahuan oleh pemeriksa pajak (auditor dari Ditjen Pajak). Setidak-tidaknya, membuat menjadi tidak mudah ketahuan.
Bagimana prosedurnya?
Tindakan mengecilkan Pajak Pendapatan Pegawai (PPh 21), memerlukan beberapa tahapan pekerjaan yang dirancang sedimikian rupa, sehingga tidak (mudah) ketahuan.

Tahapan Pertama: Pekerjaan Di Daftar Gaji dan Upah Pegawai

Langkah-1. Mengcopy file daftar upah dan gaji pegawai. Yang diotak-atik nantinya adalah file copy-nya, sedangkan file aslinya disimpan di eksternal hardisk.
Langkah-2. Membuka copy file daftar upah dan gaji pegawai di spreadsheet (Excel misalnya)
Langkah-3. Memisahkan antara gaji/upah pegawai yang DI ATAS Pendapatan-Kena-Pajak (PTKP) dengan yang DI BAWAH PTKP. Yang di bawah PTKP singkirkan, yang akan dikecilkan hanya upah/gaji yang di atas PTKP.
Langkah-4. Menentukan pegawai mana yang akan dikecilkan dan berapa. Di titik ini, orang yang ingin memperkecil PPh 21, pastinya mempertimbangkan banyak hal, tetapi fokus utamanya sudah pasti: membuat agar tidak ketahuan. Dua pertimbangan utama di langkah ini, yaitu:
  • Mempertimbangkan antara target penurunan jumlah nominal yang diinginkan dengan potensi ketahuan. Logika dasarnya: makin agresif, maki tinggi nominal yg berhasil dikecilkan, TETAPI makin besar juga potensi ketahuannya. Demikian sebaliknya. Misalnya: Jika yang diperioritaskan adalah gaji pegawai yg tinggi, pasti nominal yg bisa dikecilkan jadi lebih tinggi, tetapi perubahan mencolok pada gaji-gaji yang tinggi mudah terlihat.
  • Mempertimbangkan antara target penurunan jumlah nominal yang diinginkan dengan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan untuk menutupi. Logikanya masih sama. Jika yang diperioritaskan adalah yang gajinya tinggi, maka makin sedikit jumlah pegawai yang gajinya perlu diturunkan, dan makin sedikit juga pekerjaan yang diperlukan untuk menutupi, TETAPI kemungkinan ketahuannya makin besar. Sebaliknya, jika yang diperioritaskan adalah pegawai yang gajinya kecil, maka makin banyak jumlah pegawai yang harus ditangani—sehingga pekerjaan menutupinya juga makin banyak, TETAPI semakin kecil kemungkinannya untuk ketahuan.
Langkah-5. Mengurangi nilai gaji/upah/bonus/gratifikasi/dll. Setelah melalui pertimbangan (di langkah-3) dan keputusan sudah diambil, maka angka-angka gaji/upah/bonus/gratifikasi/dll mulai diotak-atik (intinya dikurangi), sehingga titik nilai nominal PPh 21 tercapai.
Langkah-6. Sebagai alternative langkah-5 di atas, bisa dilakukan dengan menghapus daftar pegawai yang pajaknya mau diturunkan. Ini jalan pintas yang paling cepat dan mudah dilakukan, tetapi tidak bisa dilakukan dalam jumlah yang banyak, karena akan sangat mudah terlihat.

Tahap Kedua: Pekerjaan Di Slip Gaji

Jika hanya daftar gaji saja yang berubah, sementara slip gaji tidak berubah, maka saat diperiksa oleh auditor dari Ditjen Pajak, akan mudah ketahuan. Dalam proses audit, besar kemungkinan pemeriksa meminta arsip slip gaji/upah pegawai.
Pekerjaan di tahapan ini intinya membuat slip gaji/upah GANDA, khusus untuk pegawai yang pajak gajinya diturunkan. Slip yang satunya mencantumkan nilai nominal aslinya, sedangkan slip gaji yang satunya lagi mencantumkan nilai nominal yang sesuai dengan daftar gaji/upah yang sudah diubah-ubah. Slip yang diarsipkan adalah slip yang kedua. Jika ada nama pegawai yang dihapus dari daftar gaji, otomatis slipnya juga tidak dibuat.
Sampai di tahap ini, daftar gaji/upah dan slip gaji sudah sesuai (matching). Apakah pekerjaanya sudah selesai? Belum. Masih ada dua tahapan lagi.

Tahap Ketiga: Pekerjaan Di Proses Pembayaran Gaji

Dalam proses akuntansi dan pajak, aspek yang sangat penting sifatnya adalah “arus kas”. Jika hanya daftar gaji dan slip saja yang matching, tetapi tidak tercermin di arus kas, maka akan sangat mudah ketahuan saat diperiksa oleh auditor DJP.
Dalam setiap proses audit, audit apapun itu, pemeriksaan arus kas adalah wajib. Dalam hal ini, dokumen dibandingkan dengan transaksi yang terlihat di kas.
Bagaimana cara mereka (yang mengecilkan PPh 21) membuat agar daftar gaji, slip gaji dan arus kas menjadi matching?
 Setiap gaji/upah yang nilainya diubah, dibayarkan dalam bentuk tunai (tidak via transfer atau check). Dengan begitu, maka auditor tidak akan bisa melacaknya di rekening koran. Inilah yang menyebabkan mengapa pertimbangan jumlah pegawai yang pajaknya diturunkan menjadi penting (Tahap kedua langkah-4), karena membayar gaji dalam bentuk tunai dengan jumlah pegawai yang banyak, sangat merepotkan.
Langkah penghilangan jejak yang sangat penting di sini adalah: penarikan tunai dilakukan secara bertahap jauh-jauh hari sebelum tanggal gajian. Dan jumlah yang ditarik melebihi jumlah gaji yang akan dibayarkan secara tunai. Dengan begitu, maka auditor tidak akan bisa menghubungkan jumlah nominal penarikan tunai dengan selisih gaji yang dibayarkan tunai, termasuk tanggalnya. (Ditahap terakhir nanti, anda akan tahu mengapa ini mereka lakukan.)

Tahap Keempat: Pengalokasian Selisih Kas

Langkah ini adalah finishing yang sangat penting. Mereka yang coba-coba melakukan tindakan pengecilan PPh 21 tetapi cerboh—tidak melakukan finishing yang bagus, akan sangat mudah ketahuan. Tindakan di tahap pertama (mengurangi nominal gaji di daftar gaji) akan menimbulkan selisih saldo kas, sebesar nominal gaji yang dikurangkan. Mereka yang cerdik mengalokasikan selisih kas ini dengan cerdik juga. Kemana dialokasikan?
Sudah pasti ke beberapa akun yang ada di Laba-Rugi (makin banyak jumlah akun yang menerima pengalokasian, makin sulit dilacak oleh auditor, dan sebaliknya). Pertanyaanya: akun mana?
Jika dialokasikan ke akun-akun kelompok ‘Harga Pokok Penjualan’, dampaknya menjadi sangat luas. Terlalu rumit dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan—karena akun-akun ini bisa berdampak kemana-mana.
Akun yang biasanya dipilih adalah akun-akun yang ada di kelompok biaya-biaya (di luar HPP). Mereka yang cerboh biasanya mengambil jalan yang termudah, yaitu dialokasikan ke “Biaya Lain-Lain” atau “Biaya Perjalanan Dinas”. Jika ini yang dilakukan maka kemungkinan ketahuannya menjadi sangat besar. Mengapa?
Karena auditor Ditjen Pajak sangat tahu bahawa kedua akun ini adalah akun tempat penampungan transaksi-transaksi yang tidak jelas maksud dan tujuannya, penampungan selisih-selisih angka atau transaksi-transkasi yang tidak ada notanya. Oleh sebab itu, akun “Biaya Lain-Lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas” adalah priotitas pemeriksaan. Apalagi jika nilai nominalnya tinggi, sudah pasti mengundang kecurigaan auditor.
Jika auditor tidak memiliki cukup waktu untuk menelusuri transaksi-per-transaksi, maka besar kemungkinan akun “Biaya Lain-lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas” dijadikan koreksi fiskal positive 100%. Artinya, seluruh biaya di kedua akun ini tidak diakui sebagai biaya, sehingga laba menjadi naik, otomatis PPh juga naik.
Mereka yang cerdik, mengalokasikan selisih kas atas pengecilan gaji ke akun-akun di luar “Biaya Lain-Lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas”. Tentu, tidak dialokasikan ke Biaya Listrik atau Biaya Telepon, karena kedua akun ini memiliki bukti transaksi yang tidak bisa diubah.
Setelah dialokasikan, maka dibuatkan bukti transkasi/nota/invoice (palsu pastinya). Tanggal pembayaran atas nota-nota tersebut dibuat sehari atau dua hari setelah penarikan kas tunai untuk gaji yang dibayarkan secara tunai (di tahap ketiga). Sekarang anda sudah tahu mengapa penarikan tunai untuk pembayaran gaji yang dibayarkan secara tunai dilakukan secara bertahap, jauh-jauh hari sebelum tanggal gajian.

Apakah Mengecilkan PPh 21 Layak Untuk Dilakukan?

Apakah saya sedang mengajarkan dan menganjurkan anda untuk melakukan tindakan pengecilan pajak penghasilan pegawai atau pajak gaji (PPh 21)?
Jika anda pikir iya, berarti anda salah. Saya justru ingin menununjukan, bahwa:
  • Betapa banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan hanya untuk mengecilkan PPh 21 yang biasanya tidak terlalu besar.
  • Betapa repot dan ribetnya pekerjaan yang harus dilakukan setiap bulan selama bertahun-tahun, untuk melakukan penghindaran pajak.
Belum lagi jika bicara mengenai tekanan mental (akibat pelanggaran etika, moral dan religiusitas/dosa) yang harus ditanggung oleh pegawai accounting atau pegawai konsultan yang dipaksa untuk melakukan itu. Tidak bisa dihitung dalam angka.
Secara keseluruhan potensi risiko dan cost yang timbul akibat tindakan itu sangat tidak sebanding dengan benefit yang ditimbulkan. Apalagi jika itu dilakukan untuk maksud yang mulia, yaitu: membantu meringkan beban karyawan (orang kecil). Rasanya sangat tidak rasional.
Itulah yang saya sampaikan kepada klien yang setengah memaksa supaya saya menyetujui rencananya untuk mengecilkan pajak penghasilan pegawai (PPh 21). Entah dia mengerti maksud saya atau tidak, yang jelas akhirnya dia membatalkan rencananya.
Maksud saya mempublikasikan tulisan ini adalah ingin share pendapat (disebut himbauan juga boleh) kepada siapapun (entah itu pegawai accounting atau konsultan pajak) yang berpotensi melakukan tindakan ini, bahwa: jika mau menjelaskan dengan baik, jika ada keinginan untuk mengedukasi pengusaha/klien, SANGAT BISA. Pengusaha adalah orang-orang yang positive-realistic. Mereka juga menjunjung tinggi moralitas—sepanjang itu masih dalam kisaran masuk akal. Ayolah, ini sudah bukan jamannya menjual jasa pengecilan pajak atau bentuk penghindaran pajak sejenisnya. Setuju?

sumber jurnal akuntansi keuangan

Meminimalkan Hambatan Dalam Pekerjaan Akuntansi

Hampir semua orang pernah mengalami hambatan dalam menjalankan pekerjaan, termasuk pekerjaan di bidang akuntansi, keuangan dan pajak. Hanya saja, ada yang berusaha meminimalkan hambatan sehingga karirnya terus bertumbuh, dan tak sedikit yang membiarkannya begitu saja sehingga tanpa disadari beban pekerjaanya semakin berat dan karirnya pun terhambat.
Apakah hambatan pekerjaan, khususnya akuntansi, bisa dihilangkan samasekali? TIDAK. Yang bisa diupayakan adalah menjaga agar selalu berada pada kuantitas dan intensitas yang minimal.
Yang paling penting dalam upaya meminimalkan hambatan kerja adalah mengidentifikasi sumber hambatan, sehingga solusi yang digunakan benar-benar mampu mengatasi sekaligus mencegah hambatan yang sama muncul kembali di kemudian hari.
Hambatan dalam pekerjaan akuntansi ada yang bersumber dari faktor internal dan eksternal.
Dari pengalaman penulis pribadi, terutama di tahun-tahun pertama bekerja, hambatan justru lebih banyak terjadi karena faktor internal, entah yang disebabkan oleh ketidaksiapan atau kecerobohan yang dibuat sendiri.
Melalui tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman sekaligus tips ringan dalam mengelola hamabatan-hambatan kerja di wilayah akuntansi, yang—mudah-mudahan—bisa memperlancar pekerjaan, thus perkembangan karir dalam jangka panjang.
Kita mulai dengan hambatan-hambatan eksternal.

Meminimalkan Hambatan Eksternal

Yang saya maksudkan dengan “eksternal” dalam hal ini adalah SESUATU yang berada di luar departemen akuntansi (accounting). Sedangkan “sesuatu” yang saya maksudkan bisa jadi:
  • Orang;
  • Department lain;
  • Perusahaan lain (vendor dan pelanggan/klien);
  • Institusi keuangan (bank misalnya);
  • Institusi non-keuangan (kantor Jamsostek misalnya); dan
  • Kantor pemerintah (kantor pajak misalnya)
Hambatan eksternal yang paling sering muncul adalah INTERUPSI (gangguan) dari pihak luar. Jika tak dicegah secara sistematis, maka tanpa disadari waktu akan habis hanya untuk berurusan dengan pihak luar, sementara tugas kita sendiri terbengkalai.
Interupsi dari luar, dengan intensitas yang paling rendah sekalipun, sudah cukup untuk membuat pekerjaan menjadi runyam. Karena pekerjaan akuntansi memang membutuhkan fokus yang ekstra tinggi, samasekali tak bisa disambi (multi-tasking).
Bagaimana caranya meminimalkan gangguan dari pihak luar?
Solusi: MINIMALKAN KONTAK dengan pihak luar.
“Meminimalkan kontak” dalam hal ini maksudnya:
  • Hanya berhubungan dengan pihak-pihak yang diperlukan (bukan setiap orang)
  • Hanya berhubungan untuk urusan accounting (bukan segala urusan)
  • Hanya berhubungan pada saat diperlukan (bukan setiap saat)
Rangkaian solusi berikut ini bisa dicoba untuk meminimalkan kontak sekaligus menekan interupsi dari luar dan meminimalkan hambatan hingga ke level yang paling rendah:
1. Jauhi Keramaian – Hal paling sederhana yang bisa dilakukan untuk meminimalkan interupsi adalah menjauhi keramian, yakni dengan menempati ruangan yang tidak berada di areal dimana banyak orang berlalu-lalang. Misalnya:
  • Front desk yang sering menjadi tempat transitnya tamu perusahaan.
  • Ruangan personalia (HR) yang banyak berurusan dengan staff.
  • Departemen produksi (untuk manufaktur) dimana banyak staff berlalu-lalang.
Idealnya, accounting office tidak bersebelahan dengan tempat-tempat yang ramai. Sayangnya lokasi kantor yang ideal seperti ini jarang tersedia, namun bisa diatasi dengan cara berikut.
2. Tutup Pintu – Terdengar sepele memang. Namun ruangan yang terbuka lebar, secara psikologis, ‘mengundang’ orang luar untuk masuk kapanpun mereka mau, bahkan yang tak berkepentingan sekalipun. Dan itu sangat menganggu fokus kerja di accounting. Agar tidak terjadi, pastikan pintu ruangan accounting selalu tertutup. Dengan cara ini orang luar akan enggan masuk, kecuali memang punya kepentingan yang sangat jelas dan bersifat mendesak. Pada event tertentu (saat sesi tutup buku misalnya), kalau perlu kunci ruangan dari dalam dan pasang poster “mohon tidak masuk kecuali emergency” di bagian luar pintu.
“Sudah terisolasi, pintu harus digembok pula. Seperti penjara saja,” mungkin ada yang mikir seperti itu.
Gunakan dinding kaca tembus pandang. Namun usahakan di bagian bawah menggunakan kaca embun (frozen glass)—setidaknya sampai setinggi dada. Sehingga staff accounting yang berada di dalam tak merasa terisolasi, namun tetap tak melihat orang berlalu-lalang di luar ruangan.
Buat Jadwal Kontak
3. Buat Jadwal Kontak – Ada saatnya dimana accounting sendiri membutuhkan pihak luar, sehingga mau tak mau harus berurusan dengan mereka. Tak bisa dihindari. Namun gangguan bisa diminimalkan dengan cara membuat PERTEMUAN RUTIN TERJADWAL. Misalnya:
  • Menerima nota/bill dari bagian Receiving atau Front office (bila dikirim via post/courier), bisa dijadwalkan pukul 9 pagi dan 3 sore setiap harinya.
  • Bertemu bagian penagihan (collection), dijadwalkan pukul 4 sore setiap hari Senin dan Kamis.
  • Rekonsiliasi Utang (AP) dengan vendor, bisa dijadwalkan setiap Rabu pukul 9 hingga 12 siang (jika jadwal pembayaran ke vendor setiap Kamis).
  • Berkoordinasi dengan konsultan pajak, bisa dijadwalkan tanggal 30 setiap bulannya (jika jatah konsultasi hanya sekali dalam sebulan)
  • Bekerja dengan auditor dari KAP, bisa dijadwalkan sesuai kesepatakan.
  • Rekonsiliasi bank loan dengan pihak bank, bayar dan lapor pajak, bertemu dengan IT consultant (untuk system/software/maintenance), dan lain sebagainya, juga dibuatkan jadwal pasti.
Buatkan jadwal masing-masing, kirimkan dan minta agar pihak eksternal mematuhi jadwal yang telah ditetapkan. Jika ada waktu yang tidak disepakati, bicarakan sampai disepakat dan fix.
Kunci kesuksesan mengurangi gangguan dari mereka adalah dengan KONSISTENSI. Sebisa mungkin, usahakan agar selalu disiplin dan konsisten untuk menemui mereka sesuai jadwal. Hindari pertemuan di luar jadwal. Pada jadwalnya, lakukan pertemuan secepat dan seefektif mungkin. Jangan sampai terseret atau menyeret persoalan-persoalan lain diluar yang diperlukan.
Tidak saja menutup celah gangguan di luar jadwal, cara ini juga menularkan sikap profesional kepada pihak eksternal yang belum profesional, sekaligus membuat mereka respect terhadap pribadi dan departemen anda (accounting dept).
4. Jangan Tanggapi Semua Telepon dan Email Masuk – Di era informasi dan gadget sekarang ini, gangguan luar banyak yang masuk lewat telepon dan email. Waktu yang digunakan saat mengangkat telepon mungkin singkat. Yang lama adalah follow up yang harus dilakukan setelah telepon ditutup. Jalan satu-satunya untuk meminimalkan gangguan ini adalah dengan cara tidak meladeni setiap panggilan telepon dan email yang masuk, setidaknya dipilah-pilah mana yang perlu dan mana yang tak perlu ditanggapi.
Gangguan email di sisi lainnya, sulit dihindari. Pengirimnyapun bisa bermacam-macam; ada dari atasan, departemen lain, penjaja MLM, group milis, kolega yang sekedar share cerita lucu, sampai spamers dan schemers. Belum lagi webmail pribadi yang kadang terasa seperti wajib dibuka setiap hari. Bayangkan berapa jam waktu tersita hanya untuk buka, baca dan balas email?
Solusi: Jangan pernah buka webmail pribadi saat berada di kantor, never ever (kalau merasa harus, bukalah pada saat jam istirahat). Untuk email kantor, anda bisa terapkan 2 langkah sederhana ini dengan menggunakan Microsoft Outlook:
  • Langkah-1. Buat folder inbox dengan nama “Top Priority” dan “Normal Priority.”
  • Langkah-2. Pada “contact” (daftar alamat), pilih contact mana yang tergolong Top dan mana yang normal priority, lalu set agar email dari mereka otomatis masuk ke folder masing-masing di atas.
Dengan cara itu, email dari manajemen dan atasan otomatis masuk ke folder “Top Priority” yang harus di respon dan ditindaklanjuti begitu selesai dibaca. Email dari pelanggan mengenai A/R juga masuk ke “Top Priority” dan harus direspon begitu selesai dibaca. Sedangkan email dari vendor yang menanyakan pembayaran invoice tertentu misalnya, otomatis masuk ke folder “Normal Priority” yang bisa direspon menjelang akhir jam kerja. Dan seterusnya.

Meminimalkan Hambatan Internal

Pada awal karir, hambatan kerja lebih banyak bersumber dari faktor internal. Berikut ini adalah solusi untuk meminimalkan hambatan yang berasal dari faktor internal.
1. Tingkatkan Kemampuan Teknik Akuntansi – Hambatan utama yang berasal dari faktor internal adalah: KEMAMPUAN TEKNIK AKUNTANSI YANG MASIH LEMAH. Kelemahan ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya pemahaman konsep akuntansi, standar akuntansi dan undang-undang pajak. Satu-satunya cara meminimalkan hambatan ini hanya dengan meningkatkan kemampuan teknik akuntansi dan perpajakan.
Solusi: Belajar terus-menerus.
Dengan pendidikan D3 dan S Akuntansi, mestinya sudah menguasai teknik akuntansi, namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Kabar baiknya, kelemahan teknik akuntansi bisa dikejar dengan cara belajar sambil bekerja. Kuncinya: KEMAUAN. Asalkan ada kemuan, banyak cara yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kemampuan teknik akuntansi. Berikut adalah beberapa opsi yang bisa dilakukan:
  • Belajar dari buku – Sebagian besar teknik akuntansi telah diajari saat kuliah. Sayangnya tak semuanya bisa diserap, ada saja yang terlupakan atau memang tak paham ketika dosen menjelaskan. Membuka-buka kembali buku akuntansi (dasar, intermediate, advance) bisa mengingatkan kembali. Untuk industri spesifik seperti hospitality, tambang atau real estate, mungkin perlu membeli buku-buku akuntansi khusus untuk industri tersebut. Membaca buku PSAK dan UU Pajak, wajib.
  • Belajar dari workshop dan short course – Untuk mereka yang kurang serius mengikuti pelajaran di masa perkuliahan, penguasaan teknis akuntansinya saat bekerja sudah pasti lemah. Saran saya, ambil short-course atau ikut program PPAk sekalian jika memang belum. Untuk mereka yang lemah pada perlakuan akuntansi tertentu, bisa ikut workshop khusus untuk topik tersebut.
  • Belajar dari internet – Di era internet sekarang ini, ada begitu banyak referensi belajar akuntansi dan perpajakan online, bahkan tak sedikit yang tersedia secara gratis, sehingga yang dibutuhkan hanya waktu dan kemauan untuk belajar. Carilah website yang menyajikan tutorial akuntansi dalam format selangkah-demi-selangkah, dan komprehensif, jangan yang hanya menampilkan definisi satu atau dua paragraf saja.
  • Belajar dari peer-group – Belajar dengan cara diskusi bareng teman tak kalah bagusnya. Terlebih-lebih di era media sosial seperti sekarang, manfaatkanlah untuk mendiskusikan kasus-kasus akuntansi. Dari pengamatan saya pribadi, begitu banyak akuntan senior yang berkenan berbagi ilmu dan pengalamannya di media sosial.
  • Belajar dari pengalaman – Sumber pembelajaran yang kerap dilupakan adalah pekerjaan akuntansi itu sendiri. Jadikan proses menjalankan pekerjaan sebagai bagian dari proses pembelajaran. Jangan sekedar bekerja, ambil pelajaran dari setiap pekerjaan yang dijalankan. Caranya? Pulang kerja tiba di rumah, habis mandi dan santap malam, coba diingat-ingat apa saja yang dikerjakan pagi hingga siang hari dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari sana. Kalau perlu buat catatan-catatan kecil mengenai hal-hal baru yang telah dipelajari dari pekerjaan.
  • Belajar dari atasan – Selain belajar dari menjalankan pekerjaan sendiri, mereka yang teknik akuntansinya masih lemah juga bisa belajar dari atasan. Kuncinya: jangan malu untuk bertanya. Yang penting bertanyanya lihat-lihat situasi dan kondisi—kalau atasan lagi sibuk jangan tanya dulu, tunggu sampai dia agak senggang. Yang saya tahu, rata-rata atasan bersedia berbagi ilmu asalkan bisa menempatkan diri—tanyakan hal yang sungguh-sungguh tak tahu saja, jangan menguji—dan tahu berterimakasih.
Pilihlah beberapa metode belajar yang dirasa paling sesuai dan efektif.
2. Kelola Pekerjaan dengan Skala Prioritas – Hamabatan lain dari pekerjaan akuntansi juga sering timbul dari ketidakmampuan mengelola waktu. Khususnya di perusahaan berskala menengah dan besar, pekerjaan akuntansi selalu padat. Mereka yang tak mampu mengelola waktu sudah pasti keteteran—terlihat selalu sibuk namun banyak pekerjaan yang tak tersentuh. Satu-satunya cara untuk mengatasi kepadatan pekerjaan adalah dengan membuat skala prioritas.
Jika anda seorang bawahan, skala prioritas mungkin telah diatur oleh atasan, sehingga tugas anda tinggal mengikuti. Yang terpenting dalam hal ini, SELALU DISIPLIN mengikuti jadwal dan prosedur pekerjaan yang telah ditetapkan oleh atasan.
Sedangkan jika berposisi sebagai atasan (atau tak punya atasan), maka anda lah yang harus menentukan skala prioritas. Masing-masing orang mungkin punya kiat sendiri. Jika belum punya kiatnya, mungkin anda bisa mengadopsi teknik sederhana di bawah ini:
  • Langkah-1. Klasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam 2 kelompok besar, yakni: Rutin dan Non-Rutin. Sebagian besar pekerjaan di akuntansi tergolong rutin, sehingga fokus utama ada di kelompok ini. Sedangkan yang tergolong non-rutin (dadakan) tak mungkin bisa kita jadwalkan.
  • Langkah-2. Kelompok Rutin diklasifikasikan lagi menjadi: harian, mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan.
  • Langkah-3. Alokasikan pekerjaan rutin harian ke dalam 8 jam kerja yang tersedia dalam satu hari ke masing-masing staff, jangan sampai ada yang ketinggalan. Sedangkan pekerjaan rutin mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan perlu dibuatkan kalender kerja, tentunya juga dibuatkan alokasi waktu khusus untuk masing-masing, tentukan juga siapa yang akan mengerjakan. Yang perlu diingat, harus ada reserve waktu kosong disela-sela pekerjaan rutin ini yang nantinya bisa digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat non-rutin (dadakan).
Di luar urusan mengalokasikan pekerjaan, yang tak kalah pentingnya adalah mampu menolak pekerjaan tambahan jika sudah overload. Ketika boss memberikan pekerjaan dadakan, sementara (team) anda sudah dalam kondisi overload, anda bisa menunjukan jadwal pekerjaan yang telah ada dan minta petunjuk mengenai sakala prioritas.
3. Rapikan Arsip – Arsip vital bagi orang accounting. Hambatan pekerjaan akuntansi kerap disebabkan oleh arsip yang tidak terkelola dengan baik. Arsip yang rapi dapat mempermudah sekaligus mempercepat pekerjaan. Sebaliknya, arsip yang berantakan akan membuat pekerjaan menjadi sulit dan lambat. Bagaimana caranya mengelola arsip? Silahkan baca “Cara Mengelola Arsip Akuntansi Agar Rapi dan Efektif.”
4. Jaga Ruangan Tetap Nyaman – Ruangan kerja sudah seharusnya nyaman. Ruangan kerja yang nyaman tidak mesti yang seukuran ‘President Suite’, yang penting tertata dengan rapi. Ruangan yang tidak tertata dengan baik bisa menjadi penghambat kelancaran kerja.
Ada type orang yang memiliki kebiasaan menaruh benda apa saja di dalam ruangan kerjanya. Ini kebiasaan buruk. Ruangan yang penuh sesak, disamping menimbulkan susana pengap, juga membatasi ruang gerak, bahkan bisa mempersulit pencarian benda yang benar-benar dibutuhkan untuk bekerja. Untuk efektifitas, yang ada di dalam ruang kerja (idealnya) hanya benda yang sunguh-sungguh dibutuhkan.
Saya pribadi pernah berada pada fase dimana kertas (dan benda lain) yang ada di meja saya, entah mengapa, rasanya semua penting. Sehingga ruangan kerja saya menjadi lebih mirip gudang percetakan ketimbang kantor, nggokan kertas numpuk di sana-sini. Tetapi lama-lama saya sadar bahwa persaan itu hanya ilusi. Pada kenyataannya, tak semua kertas dan benda itu sungguh-sungguh saya butuhkan. Dan ini lumrah terjadi pada pegawai accounting pemula.
Jika saat ini anda ada dalam kondisi seperti itu dan mengalami kesulitan untuk membedakan mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak, gunakan pola pikir di bawah ini:   Benda yang tak pernah disentuh selama seminggu (termasuk kertas kerja/arsip), kemungkinanannya hanya 2:
  • Tidak dibutuhkan saat ini – Simpan yang rapi di gudang, ambil ketika dibutuhkan saja; atau
  • Tidak dibutuhkan samasekali – Buang ke tong sampah, tak usah ragu.
Kecuali yang sedang dikerjakan, tempat penyimpanan kertas/dokumen hanya 2:
  •  Di folder/arsip – Untuk kertas yang sudah selesai dikerjakan
  • Di tong sampah – Sisanya
Yang pasti, meja dan laci BUKAN tempat untuk menyimpan kertas/dokumen bagi orang accounting!
Usaha meminimalkan hambatan kerja—baik yang bersumber dari eksternal maupun internal—takkan ada artinya bila motivasi untuk melakukan itu rendah. Sehingga di atas usaha-usaha itu, harus dimulai dengan keinginan yang kuat untuk meningkatkan etos kerja.
Sub-topik di bawah ini mungkin ada manfaatnya.

Meminimalkan Masalah Ala Robot

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa, otomatisasi selalu lebih efektif dibandingkan proses pekerjaan yang dijalankan secara manual. Misalnya: Laporan Keuangan yang diproses dengan menggunakan software akuntansi lebih minim masalah dibandingkan yang diproses secara manual.
Pertanyaannya: Mengapa demikian?
Karena otomatisasi adalah ROBOT (kecerdasan artificial), bukan manusia.
Lalu, apa yang membedakan robot dengan manusia, sehingga bisa bekerja lebih efektif (dan minim masalah)?
Pertama, robot mengandalkan LOGIC (strictly logic). Dalam menjalankan pekerjaan, robot tak pernah menggunakan perasaan, melainkan hanya mengikuti alur logika yang ditanamkan oleh perancangnya. Misalnya: Software akuntansi, hanya bekerja mengikuti alur logika yang dibenamkan oleh programmernya. Sementara manusia kerap menggunakan perasaan dalam menjalankan pekerjaan, logika yang digunakan terdistorsi oleh emosi. Akibatnya, judgementnya menjadi bias, sehingga outputnya pun kerap tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Meminimalkan Hambatan Ala Robot
Kedua, robot TEGAS (no excuse). Dalam menjalankan pekerjaannya, robot tak mengenal kompromi, tidak mau bernegosiasi dan tidak kenal ampun. Kalau salah ya salah, kalau benar ya benar, tak ada wilayah abu-abu. Kalau harus sekarang yang sekarang, tak pernah menunda. Misalnya: ketika kita input penerimaan barang ke dalam software akuntansi, secara langsung (tanpa menunda) software akan mendebit akun “Persediaan” dan mengkredit akun “Utang” begitu saja tanpa menunggu kesepakatan. Jika ingin memperbaiki input yang salah, dia memaksa kita membuat adjustment (bukan mengijinkan kita mengubah input yang sudah dia simpan). Sedangkan manusia kerap tidak bersifat tegas, menyisakan ruang kompromi di sana-sini, selalu bisa diajak bernegosiasi, dan kerap memberi pengecualian-pengecualian.
Ketiga, robot JUJUR APA ADANYA (truthful). Dalam menjalankan pekerjaannya, robot tak pernah manipulatif, tidak korup, tidak nyeleweng. Robot tak bisa berpura-pura untuk menyenangkan pihak lain. Robot juga tak melakukan konspirasi atau politic untuk memuluskan urusannya. Misalnya: Jika kita memasukan angka 2 juta pada akun “Persediaan”, disamping secara otomatis memasukkan angka yang sama pada akun “Utang”, software juga akan secara konsekwen menjalankan proses klasifikasi ke General Ledger (Buku Besar) dan Neraca dengan nominal angka yang sama persis seperti yang diinput, tanpa mengurangi atau menambahi. Sedangkan manusia kadang manipulatif, mengakali, menggelapkan, menyelewengkan, bahkan tak jarang berkonsiprasi/berpolitik.
Itulah 3 karakter robot (otomatisasi) yang membedakannya dengan manusia, sehingga kinerjanya selalu lebih efektif.
Ingin memiliki kinerja efektif layaknya otomatisasi/robot? Adopsi karakter robot di atas!
Para executive di perusahaan besar yang memulai karirnya dari nol rata-rata pernah menjadi seorang manajer yang memiliki kinerja super efektif. Mereka menjadi demikian efektif karena memiliki 3 karakter utama di atas (logika murni, tanpa perasaan, tegas, dan jujur apa adanya).
“Saya nggak mau seperti robot ah, mendingan jadi manusia yang punya perasaan, bisa diajak berkompromi, bisa diajak bernegoasiasi dan memiliki sifat memaafkan,” mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Pilihan yang SAH. Karena hal ini semacam ‘trade-off’ antara ‘menjadi SEPERTI robot yang super efektif dalam menjalankan pekerjaan’-ATAU-‘menjadi manusia yang kerap tidak efektif dalam menjalankan pekerjaan’.
Saran saya: AMBIL JALAN TENGAH. Mainkan 3 karakter robot di atas dengan cerdas (baca: bila mana perlu). Misalnya: Saat jam kerja, gunakan ketiga karakter itu sepenuhnya (strictly logic, no excuse, truthful). Namun di luar jam kerja kembali layaknya manusia yang punya perasaan, bisa berkompromi, bisa diajak berembug dan bisa memaafkan, tanpa mengurangi kadar kejujuran. Tidak mudah, namun saya jamin bisa. Selamat mencoba.
Hambatan kerja seperti apa yang sering anda hadapi di wilayah akuntansi, keuangan dan pajak? Bagimana cara anda meminimalkan hambatan-hambatan tersebut? Sekarang giliran anda menyampaikan pendapat/komentar. Silahkan lewat ruang komentar di bawah ini.

sumber jurnal akuntansi keuangan