Hidup ini seperti roda berputar. ”Ada kalanya di
atas, ada pula saatnya di tengah atau di bawah,” ujar seorang usahawan
besar di Jakarta,
Ia bercerita, sebelum krisis tahun 1997-2000, ia memimpin sebuah megakorporat. Ada bank, properti, ritel, dan jasa.
Tiba-tiba
datang badai ekonomi. Banyak usahawan Indonesia terempas, termasuk
dia. Hampir semua usahanya menyurut nyaris ke titik nol. Banknya
ditutup. Usaha propertinya hampir tanpa kegiatan. Perusahaan ritel dan
jasa ia jual. Ia memilih berkonsentrasi pada hanya usaha properti,
bisnis yang paling ia kuasai. Menurut pengalaman, fokus pada usaha inti
akan menyelamatkan suatu usaha.
Selama ekonomi nasional
limbung, ia bertekad tidak memecat karyawannya. Sebagai bekas ”orang
susah”, usahawan yang kini berusia 61 tahun ini sadar betapa pahitnya
nasib karyawan yang diputus hubungan kerjanya. Usahawan ini bertahan
dengan apa yang dia miliki.
Namun, banyak karyawannya yang
”kasihan” melihat ikhtiarnya. Mereka keluar, satu per satu. Setiap
karyawannya pamit, usahawan ini mati-matian menahan haru. Kerap
beberapa anggota staf intinya melihat ia menangis di balik pintu.
Hubungan majikan dan karyawan di perusahaan itu memang dekat.
Tak
tahan dengan situasi ini, pengusaha tersebut menjual 80 persen aset
pribadi. Ia mencairkan 70 persen depositonya dan menjual 80 persen
simpanan emasnya. Dengan uang itu, ia membuka sejumlah unit usaha agar
karyawan yang tersisa tidak pergi. Dari restoran, industri kreatif,
hotel, biro perjalanan, sampai ke usaha jahit pakaian. Ia juga menemani
para karyawan itu bekerja, hari demi hari. Ikhtiar ini berhasil
menahan karyawannya.
Muncul titik balik. Para karyawan, yang
melihat pemilik perusahaan baik hati, bertarung keras di semua lini
bisnis. Semua usaha usahawan ini berhasil dan untung. Usaha propertinya
pun perlahan bangkit kembali. Kini keadaan berubah, ibarat roda. Usaha
propertinya berkelas dan membawa genre sendiri.
Di titik ini,
tatkala ia dan karyawannya bisa menghela napas, ia mengajak semua
karyawannya membiasakan diri menabung. ”Kalau mampu hidup dengan Rp 3
juta sebulan, hiduplah dengan Rp 3 juta kendati gaji kalian, sebutlah,
Rp 18 juta. Sisanya tabung. Jangan sebentar-sebentar diambil. Ketika
gaji kalian naik, misalnya menjadi Rp 30 juta, tetaplah hidup dengan Rp
3 juta itu. Namun uang yang dikumpulkan, jadikan uang yang membawa
manfaat. Misalnya, membeli emas atau masukkan saja di bank sebagai
deposito. Kelak kalian merasakan manfaatnya,” ujar pengusaha itu.
Ia
menambahkan, tidak punya uang sungguh tak enak. Tidak saja kita susah
memenuhi kebutuhan hidup, tetapi sebagian orang juga tidak ”memandang”
kita. ”Saya mengalami ketika usaha saya di tubir jurang,” katanya.
Usahawan
lain, yang bergerak di beberapa jenis industri, menuturkan hal senada.
”Ketika usaha kita tengah berkibar, semua mendekat. Namun ketika usaha
kita redup, tidak ada yang mendekat, termasuk para pejabat.” ujarnya.
Pebisnis
ini menyarankan semua usahawan untuk mandiri. Jangan pernah dekat
pejabat. Profesional, bebas dari aroma fasilitas negara dan pejabat.
Kalau mampu melakukannya, pasti akan menjadi usahawan tangguh. (Abun Sanda kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar